Artikel-artikel populer :
Panggung Tunggal Peneliti
Her/M-1
SETELAH menyelesaikan kuliahnya di Jepang, Laksana Tri Handoko sempat bekerja menjadi peneliti selama setahun di Italia. Selanjutnya, dia bekerja di Jerman selama tiga tahun. Sejak 2002, dia kembali ke Tanah Air dan mengabdikan dirinya di LIPI.
Ketika ditanyai soal pilihannya untuk kembali ke Indonesia, menurutnya itu ialah pilihan yang sangat rasional.
"Saat itu ketika dibandingkan jenjang karier yang bisa saya dapatkan di Jerman, lebih menjanjikan di Indonesia," terangnya.
Kini dengan jabatan strukturalnya di LIPI, Handoko banyak memburu peneliti-peneliti Indonesia yang sukses di luar negeri agar pulang dan berkontribusi bagi negara. Menurutnya, saat ini kondisi di Indonesia sudah semakin membaik bagi peneliti untuk hidup dan bekerja di tanah kelahiran sendiri.
Dia juga berupaya menggenjot jumlah publikasi ilmiah yang diterbitkan para peneliti di bawah LIPI. Output publikasi global tadinya terpuruk, tetapi kini tiap tahun ada kenaikan 100Para peneliti pun difasilitasi untuk ikut konferensi internasional.Jejaring global Adapun berbicara soal statusnya sebagai warga negara Indonesia, menurutnya hal itu tak menjadi kendala untuk bersaing sebagai peneliti di kancah global. Persaingan sebagai peneliti sangat terbuka, tidak dibatasi teritorial kenegaraan. Di negara mana pun, sistem berjejaring peneliti bisa terbilang sama. Dia menyarankan peneliti untuk bekerja sama dengan peneliti-peneliti senior supaya bisa mendapat jaringan yang lebih luas lagi.
Pada akhirnya, patokannya ialah pemikiran dan karya, ilmu pengetahuan ialah medan kompetisi yang luas. Untuk dapat diakui, seorang peneliti mesti memublikasikan karya ilmiah. Dia termasuk peneliti yang sangat produktif mempublikasikan kajian ilmiahnya baik di tingkat nasional maupun internasional. Tingkat sitasinya di Google Scholar pun terbilang tinggi. Bagi dia, pembuktian utama seorang peneliti memang selayaknya hanya lewat jalur itu, publikasi di jurnal ilmiah.
Adalah wajar bila banyak tulisan yang ditolak dan tidak dimuat. Proses itu dijadikannya ajang untuk belajar. Dia pun mempelajari bahwa tiap jurnal memiliki karakteristik yang berbeda. Peneliti pun harus cermat menyesuaikan.
Reputasi kemudian akan terbentuk dari situ. Hal yang selanjutnya harus disikapi dengan bijak ialah jangan sampai reputasi malah jadi menghancurkan peneliti. Belakangan banyak peneliti yang namanya melambung lewat pemberitaan berlebihan di media massa dengan klaim publisitas berlebihan, kebanyakan malah condong keliru menjelaskan kontribusi penelitiannya. Alhasil, reputasi yang bersangkutan pun bisa rusak di kalangan para peneliti sendiri.
"Itu bisa menghancurkan karier peneliti dengan tidak dipercaya lagi," cetusnya. Dia menyarankan agar peneliti tidak terlalu mengejar reputasi lewat pemberitaan. Kalau terjadi kekeliruan, sesegera mungkin melakukan klarifikasi. “Profesi ini dibangun dengan reputasi dan kepercayaan juga," tandasnya mengedepankan agar peneliti tetap rendah hati.
Sumber : Media Indonesia (30 Juni 2016)